BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Manusia memperoleh sebagaian besar
dari kemampuannya melalui belajar. Belajar adalah suatu peristiwa yang terjadi
didalam kondisi-kondisi tertentu yang dapat diamati, diubah dan dikontrol
(Robert M. Gagne, 1977). Kemampuan manusia yang dikembangkan melalui belajar
yaitu:ketrampilan intelektual, informasi verbal, strategi kognitif, ketrampilan
motorik, dan sikap.
Pendidik dituntut untuk menyediakan
kondisi belajar untuk peserta didik untuk mencapai kemampuan-kemampuan tertentu
yang harus dipelajari oleh subyek didik. Dalam hal ini peranan desain pesan
dalam kegiatan belajar mengajar sangat penting, karena desain pesan
pembelajaran menunjuk pada proses memanipulasi, atau merencanakan suatu pola
atau signal dan lambang yang dapat digunakan untuk menyediakan kondisi untuk
belajar.
Belajar itu menyenangkan. Tapi,
siapa yang menjadi stakeholder dalam proses pembelajaran yang menyenangkan itu?
Jawabannya adalah siswa. Siswa harus menjadi arsitek dalam proses belajar
mereka sendiri. Kita semua setuju bahwa pembelajaran yang menyenangkan
merupakan dambaan dari setiap peserta didik. Karena proses belajar yang
menyenangkan bisa meningkatkan motivasi belajar yang tinggi bagi siswa guna
menghasilkan produk belajar yang berkualitas. Untuk mencapai keberhasilan
proses belajar, faktor motivasi merupakan kunci utama. Seorang guru harus
mengetahui secara pasti mengapa seorang siswa memiliki berbagai macam motif
dalam belajar. Ada empat katagori yang perlu diketahui oleh seorang guru yang
baik terkait dengan motivasi “mengapa siswa belajar”, yaitu
1.)motivasi intrinsik (siswa belajar karena tertarik
dengan tugas-tugas yang diberikan)
2.)motivasi instrumental (siswa belajar karena akan
menerima konsekuensi: reward atau punishment)
3.)motivasi sosial (siswa belajar karena ide dan
gagasannya ingin dihargai)
4.)dan motivasi prestasi (siswa belajar karena ingin
menunjukkan kepada orang lain bahwa dia mampu melakukan tugas yang diberikan
oleh gurunya.
Dalam paradigma baru pendidikan,
tujuan pembelajaran bukan hanya untuk merubah perilaku siswa, tetapi membentuk
karakter dan sikap mental profesional yang berorientasi pada global mindset.
Fokus pembelajarannya adalah pada ‘mempelajari cara belajar’ (learning how to
learn) dan bukan hanya semata pada mempelajari substansi mata pelajaran. Siswa
sebagai stakeholder terlibat langsung dengan masalah, dan tertantang untuk
belajar menyelesaikan berbagai masalah yang relevan dengan kehidupan mereka.
Dengan skenario pembelajaran berbasis masalah ini siswa akan berusaha
memberdayakan seluruh potensi
akademik dan strategi yang mereka miliki untuk
menyelesaikan masalah secara individu/kelompok. Prinsip pembelajaran
konstruktivisme yang berorientasi pada masalah dan tantangan akan menghasilkan
sikap mental profesional, yang disebut researchmindedness dalam pola pikir
siswa,sehingga kegiatan pembelajaran selalu menantang dan menyenangkan.
Makalah ini akan diuraikan tentang model pembelajaran
PAIKEM yang menekankan dengan pendekatan SETS.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Model Pembelajaran PAIKEM
PAIKEM adalah singkatan dari
Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan.
Aktif dimaksudkan
bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa
sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan.
Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun
pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru
tentang pengetahuan. Jika pembelajaran tidak memberikan kesempatan kepada siswa
untuk berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan hakikat
belajar. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan
generasi yang kreatif, yang mampu menghasilkan sesuatu untuk kepentingan
dirinya dan orang lain.
Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan
belajar yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa.
Menyenangkan adalah suasana belajar-mengajar yang menyenangkan
sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu
curah perhatiannya (“time on task”) tinggi. Menurut hasil penelitian,
tingginya waktu curah perhatian terbukti meningkatkan hasil belajar. Keadaan
aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif,
Efektif yaitu tidak menghasilkan apa yang
harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab
pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika
pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka
pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa.
PAIKEM merupakan sebuah model pembelajaran
kontekstual yang melibatkan paling sedikit empat prinsip utama dalam proses
pembelajarannya.
1. proses Interaksi (siswa berinteraksi
secara aktif dengan guru, rekan siswa, multi-media, referensi, lingkungan dsb).
2. proses Komunikasi (siswa
mengkomunikasikan pengalaman belajar mereka dengan guru dan rekan siswa lain
melalui cerita, dialog atau melalui simulasi role-play).
3. proses Refleksi, (siswa memikirkan
kembali tentang kebermaknaan apa yang mereka telah pelajari, dan apa yang
mereka telah lakukan).
4. proses Eksplorasi (siswa mengalami
langsung dengan melibatkan semua indera mereka melalui pengamatan, percobaan,
penyelidikan dan/atau wawancara).
Pelaksanaan Paikem harus memperhatikan bakat, minat
dan modalitas belajar siswa, dan bukan semata potensi akademiknya.
Dalam
pendekatan pembelajaran Quantum (Quantum Learning) ada tiga macam modalitas siswa,yaitu:
1. Modalitas visual
Dengan modalitas visual dimaksudkan
bahwa kekuatan belajar siswa terletak pada indera ‘mata’ (membaca teks, grafik
atau dengan melihat suatu peristiwa).
2. Auditorial
kekuatan auditorial terletak pada indera
‘pendengaran’ (mendengar dan menyimak penjelasan atau cerita),
3. dan Kinestetik.
kekuatan kinestetik terletak pada
‘perabaan’ (seperti menunjuk, menyentuh atau melakukan). Jadi, dengan memahami
kecenderungan potensi modalitas siswa tersebut, maka seorang guru harus mampu
merancang media, metoda/atau materi pembelajaran kontekstual yang relevan
dengan kecenderungan potensi atau modalitas belajar siswa.
Secara garis besar, PAIKEM dapat dideskripsikan
sebagai berikut:
- Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
- Guru menggunakan berbagai alat bantu dan berbagai cara dalam membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
- Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’
- Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok
- Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan
PAIKEM:
a. Memahami sifat yang
dimiliki anak
Pada dasarnya anak memiliki sifat: rasa
ingin tahu dan berimajinasi. Anak desa, anak kota,
anak orang kaya, anak orang miskin, anak Indonesia, atau anak bukan Indonesia –
selama mereka normal – terlahir memiliki kedua sifat itu. Kedua sifat tersebut
merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap/berpikir kritis dan kreatif.
Kegiatan pembelajaran merupakan salah satu lahan yang harus kita olah sehingga
subur bagi berkembangnya kedua sifat anugerah Tuhan tersebut. Suasana
pembelajaran yang ditunjukkan dengan guru memuji anak karena hasil karyanya,
guru mengajukan pertanyaan yang menantang, dan guru yang mendorong anak untuk
melakukan percobaan, misalnya, merupakan pembelajaran yang subur seperti yang
dimaksud.
b. Mengenal anak secara
perorangan
Para siswa berasal dari lingkungan
keluarga yang bervariasi dan memiliki kemampuan yang berbeda. Dalam PAIKEM
(Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) perbedaan
individual perlu diperhatikan dan harus tercermin dalam kegiatan pembelajaran.
Semua anak dalam kelas tidak selalu mengerjakan kegiatan yang sama, melainkan
berbeda sesuai dengan kecepatan belajarnya. Anak-anak yang memiliki kemampuan
lebih dapat dimanfaatkan untuk membantu temannya yang lemah (tutor sebaya).
Dengan mengenal kemampuan anak, kita dapat membantunya bila mendapat kesulitan
sehingga anak tersebut belajar secara optimal.
c. Memanfaatkan
perilaku anak dalam pengorganisasian belajar
Sebagai makhluk sosial, anak sejak
kecil secara alami bermain berpasangan atau berkelompok dalam bermain.
Perilaku ini dapat dimanfaatkan dalam pengorga-nisasian belajar. Dalam
melakukan tugas atau membahas sesuatu, anak dapat bekerja berpasangan atau
dalam kelompok. Berdasarkan pengalaman, anak akan menyelesaikan tugas dengan
baik bila mereka duduk berkelompok. Duduk seperti ini memudahkan mereka untuk
berinteraksi dan bertukar pikiran. Namun demikian, anak perlu juga
menyelesaikan tugas secara perorangan agar bakat individunya berkembang.
d. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis,
kreatif, dan kemampuan memecahkan
masalah
Pada dasarnya hidup ini adalah
memecahkan masalah. Hal tersebut memerlukan kemampuan berpikir kritis dan
kreatif. Kritis untuk menganalisis masalah; dan kreatif untuk melahirkan
alternatif pemecahan masalah. Kedua jenis berpikir tersebut, kritis dan
kreatif, berasal dari rasa ingin tahu dan imajinasi yang keduanya ada pada diri
anak sejak lahir. Oleh karena itu, tugas guru adalah mengembangkannya, antara
lain dengan sesering-seringnya memberikan tugas atau mengajukan pertanyaan yang
terbuka. Pertanyaan yang dimulai dengan kata-kata “Apa yang terjadi jika …”
lebih baik daripada yang dimulai dengan kata-kata “Apa, berapa, kapan”, yang
umumnya tertutup (jawaban betul hanya satu).
e. Mengembangkan ruang kelas sebagai lingkungan
belajar yang menarik
Ruang kelas yang menarik merupakan hal
yang sangat disaran-kan dalam PAIKEM. Hasil pekerjaan siswa sebaiknya
dipajangkan untuk memenuhi ruang kelas seperti itu. Selain itu, hasil pekerjaan
yang dipajangkan diharapkan memotivasi siswa untuk bekerja lebih baik dan
menimbulkan inspirasi bagi siswa lain. Yang dipajangkan dapat berupa hasil
kerja perorangan, berpasangan, atau kelompok. Pajangan dapat berupa gambar,
peta, diagram, model, benda asli, puisi, karangan, dan sebagainya. Ruang kelas
yang penuh dengan pajangan hasil pekerjaan siswa, dan ditata dengan baik, dapat
membantu guru dalam KBM karena dapat dijadikan rujukan ketika membahas suatu
masalah.
f. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
Lingkungan (fisik, sosial, atau
budaya) merupakan sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar anak.Lingkungan
dapat berperan sebagai media belajar, tetapi juga sebagai objek kajian (sumber
belajar). Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering membuat anak
merasa senang dalam belajar.Belajar dengan menggunakan lingkungan tidak selalu
harus keluar kelas. Bahan dari lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk
menghemat biaya dan waktu.Pemanfaatan lingkungan dapat mengembangkan sejumlah
keterampilan seperti mengamati (dengan seluruh indera), mencatat, merumuskan
pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasikan, membuat tulisan, dan membuat
gambar/diagram.
g. Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan
kegiatan belajar
Mutu hasil belajar akan meningkat
bila terjadi interaksi dalam belajar.Pemberian umpan balik dari guru kepada
siswa merupakan salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa.Umpan balik
hendaknya lebih mengungkap kekuatan daripada kelemahan siswa.Selain itu,cara
memberikan umpan balik pun harus secara santun.Hal ini dimaksudkan agar siswa
lebih percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas belajar selanjutnya.Guru harus
konsisten memeriksa hasil pekerjaan siswa dan memberikan komentar dan catatan.
Catatan guru berkaitan dengan pekerjaan siswa lebih bermakna bagi pengembangan
diri siswa daripada hanya sekedar angka.
h. Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental
Banyak guru yang sudah merasa puas
bila menyaksikan para siswa kelihatan sibuk bekerja dan bergerak. Apalagi jika
bangku dan meja diatur berkelompok serta siswa duduk saling berhadapan.Keadaan
tersebut bukanlah ciri yang sebenarnya dari PAIKEM.Aktif mental lebih
diinginkan daripada aktif fisik. Sering bertanya, mempertanyakan gagasan orang
lain, dan mengungkapkan gagasan merupakan tanda-tanda aktif mental. Syarat
berkembangnya aktif mental adalah tumbuhnya perasaan tidak takut:takut
ditertawakan, takut disepelekan, atau takut dimarahi jika salah.Oleh karena
itu, guru hendaknya menghilangkan penyebab rasa takut tersebut, baik yang
datang dari guru itu sendiri maupun dari temannya. Berkembangnya rasa takut
sangat bertentangan dengan ‘PAIKEM.’
i. Pengelolaan Kelas PAIKEM
Seting kelas yang konstruktif
didasarkan pada nilai-nilai konstruktif dalam proses belajar, termasuk
kolaborasi, otonomi individu, refleksi, relevansi pribadi dan pluralisme.
Seting kelas yang konstruktif akan memberikan kesempatan aktif belajar. Mengacu
pada pendekatan holistik dalam pendidikan, seting kelas konstruktif
merefleksikan asumsi bahwa proses pengetahuan dan pemahaman akuisisi adalah
benar-benar melekat pada konteks sosial dan emosional saat belajar.
Karakteristik seting kelas konstruktif untuk belajar adalah terkondisikannya
belajar secara umum, instruksi, dan belajar bersama.
Lima metode kunci untuk merancang seting kelas yang
konstruktif , yaitu:
1) melindungi pemelajar dari kerusakan
praktik instruksional dengan mengembangkan otonomi dan kontrol pemelajar, mendorong
pengaturan diri dan membuat instruksi secara pribadi yang relevan dengan
pemelajar,
2) menciptakan konteks belajar yang
mendorong pengembangan otonomi pribadi
3) mengkondisikan pemelajar dengan
alasan-alasan belajar dalam aktivitas belajar
4) mendorong pengaturan diri dengan
pengembangan keterampilan dan tingkah laku yang memungkinkan pemelajar
meningkatkan tanggung jawab dalam belajarnya; dan
5) mendorong kesadaran belajar dan
pengujian kesalahan (Hadi Mustofa, 1998).
Penataan dan atau pengelolaan kelas dalam PAIKEM perlu
mempertimbangkan enam elemen Constructivist
Learning Design (CDL) yang dikemukakan oleh Gagnon and Collay, yaitu :
Situation:terkait dengan hal-hal berikut; apa tujuan episode
pembelajaran yang akan dicapai, apa yang diharapkan setelah siswa keluar
ruangan kelas, bagaimana mengetahui bahwa siswa telah mencapai tujuan, tugas
apa yang diberikan kepada siswa untuk mencapai tujuan, bagaimana deskripsi
tugas tersebut (as a process of solving problems, answering question,
creating metaphors, making decisions, drawing conclusions, or setting goals).
Grouping:dapat
dilakukan berdasarkan karakteristik siswa atau didasarkan pada karakteristik
materi.
Bridge:terkait dengan; aktivitas apa yang dipilih untuk
menjembatani atara pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya dengan
pengetahuan baru yang akan dibangun siswa.
Question:pertanyaan apa yang dapat
membangkitkan tiap elemen desain (panduan pertanyan apa yang dapat
mengintrodusir situasi, menata pengelompokan, dan membangun jembatan),
pertanyaan klarifikasi apa yang digunakan untuk menengetahui cara berpikir dan
aktivitas belajar siswa.
Exhibit:bagaimana siswa merekan dan
memamerkan kreasi mereka melalui demonstrasi cara berpikir mereka dalam
menyelesaikan dan atau memenuhi tugas.
Reflections:bagaimana
siswa melakukan refleksi dalam menyelesaikan tugas mereka, apakah siswa ingat
tentang (feeling, images, and language of their thought), apa sikap,
proses, dan konsep yang akan dibawa siswa setelah keluar kelas.
B. Konsep Pendekatan SETS (Sains Environment
Technology and Society)
Pendekatan
sains-teknologi-masyarakat (SETS = science, environment, technology, society)
merupakan salah satu model atau pendekatan untuk menyesuaikan diri terhadap
perkembangan sains yang cepat dan menjawab perubahan paradigma di atas.
Pendekatan SETS pada awalnya dikembangkan untuk pembelajaran sains, khususnya
sains alam, walaupun dapat dikaji penggunaannya pada pembelajaran
bidang-bidang lain.
Kerangka pembelajaran SETS yang
menempatkan tanggung jawab sosial sebagai tujuan utama dalam pembelajaran
sains, akhirnya menuntut perubahan tidak hanya pada metode pembelajaran di
kelas, tetapi juga perubahan mendasar pada kurikulum. Beberapa negera telah
berusaha menempatkan pembelajaran berbasis SETS dalam kurikulum sekolah
menengah mereka, seperti Kanada(4) dan Australia, tetapi beberapa
laporan menyebutkan bahwa tidaklah mudah untuk akhirnya benar-benar diterapkan
di kelas, karena diperlukan pengenalan yang intensif kepada guru-guru sekolah
menengah.
Dengan demikian, semangat dalam
penerapan pembelajaran berbasis SETS hal ini bertujuan untuk melek sains,atau
tujuan peningkatan motivasi dan pemahaman peserta didik dalam pembelajaran
sains, atau paling jauh bisa mewarnai penyusunan kurikulum di tingkat satuan
pendidikan.
1.)
Visi,Misi,dan Tujuan Pembalajaran
dengan Pendekatan SETS
Visi,misi,dan tujuan pendekatan
SETS sekurang-kurangnya dapat membuka wawasan peserta didik untuk memahami
hakikat pendidikan sains,lingkungan,teknologi,dan masyarakat secara utuh.Maksudnya
ialah bahwa visi dan misi pendekatan SETS ditujukan untuk membantu peserta
didik mengetahui sains dan bagaimana perkembangan sains dapat mempengaruhi
lingkungan, teknologi, dan masyarakat secara timbal balik.
Ada dua visi dan tujuan pendekatan SETS dalam
pendidikan seperti dikutip oleh Pedersen dari tulisan NSTA, yaitu:
1) SETS melibatkan peserta didik dalam
pengalaman dan isu-isu/masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan
kehidupan mereka; dan
2) SETS memberdayakan peserta didik dengan
berbagai keterampilan sehingga mereka menjadi warga negara yang bertanggung
jawab dan lebih aktif merespons isu/masalah-masalah yang mempengaruhi kehidupan
mereka (Pedersen, 1992:26). Program SETS telah menjadi suatu gerakan dalam
pendidikan sain di negara-negara yang telah maju, bertujuan mengintegrasikan
sain, lingkungan, dan teknologi dengan kehidupan masyarakat (Yager & Roy,
1993:7).
Sementara dalam Diwa Learning System (Gregorio,
1991:37) dinyatakan bahwa:
1) SETS merupakan suatu perubahan
penekanan dalam pengajaran sains di sekolah, dan bukan evolusi dalam pengajaran
sains;
2) tujuannya adalah humanisasi
pengajaran sain dengan menempatkannya dalam konteks sosial dan teknologi, dan
bukan memandang sains sebagai tujuan yang terlepas dari atau di luar pengalaman
sehari-hari;
3) SETS merupakan suatu pendekatan
pembelajaran untuk sains yang disesuaikan dengan kecakapan kelompok, dan bukan
melemahkan atau menghambat perkembangan sains;
4) SETS merupakan suatu
program atau kurikulum sains, dan bukan sains itu sendiri; dan
5) SETS merupakan pendekatan
interdisipliner dan multidisipliner, dan bukan suatu disiplin atau ruang
lingkup pelajaran.
Berhubungan dengan visi dan
tujuan-tujuan Pendekatan SETS, Gregorio (1991:40) mengungkapkannya dengan suatu
kalimat yang diletakkan di antara dua tanda kutip, yakni “Give a man a fish,
and he will survive for a day, but teach him how to culture fish, and he will
survive a lifetime”. Sedangkan Yager (1993:13) menyatakan bahwa salah satu
tujuan pokok dari pendekatan SETS adalah mengaktifkan peserta didik dalam
kegiatan pemecahan isu-isu/masalah-masalah yang telah diidentifikasi. Demikian
halnya Gregorio (1991:39) menyatakan bahwa dalam pembelajaran sains dengan
Pendekatan SETS, peserta didik diikutsertakan dalam aktivitas pemecahan masalah
dan pengambilan keputusan. Sementara Rosenthal (Lo, 1991:146) menyatakan bahwa
isu-isu sosial dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan
dalam pembelajaran sain yang didasarkan pada aspek-aspek sosial dari sain.
Sejalan dengan pernyataan Heath (Heath, 1992:55) bahwa isu-isu atau
masalah-masalah dalam masyarakat dapat menjadi suatu basis pembelajaran dengan
pendekatan SETS sekaligus sebagai “perekat” yang membolehkan integrasi belajar
dan mengajar lintas disiplin ilmu dalam upaya membantu peserta didik dan warga
negara untuk menyadari dan memahami adanya interaksi antara sains,lingkungan,teknologi,dan
masyarakat.
Tujuan utama pendidikan dengan
Pendekatan SETS adalah mempersiapkan peserta didik menjadi wagra negara dan
warga masyarakat yang memiliki suatu kemampuan dan kedasaran untuk:
1) menyelidiki, menganalisis, memahami dan menerapkan
konsep-konsep/prinsip-prinsip dan proses sain dan teknologi pada situasi nyata
2) melakukan perubahan
3) membuat keputusan-keputusan yang tepat dan mendasar
tentang isu/masalah-masalah yang sedang dihadapi yang memiliki komponen sain
dan teknologi
4) merencanakan kegiatan-kegiatan baik secara individu
maupun kelompok dalam rangka pengambilan tindakan dan pemecahan isu-isu atau
masalah-masalah yang sedang dihadapi
5) bertanggung
jawab terhadap pengambilan keputusan dan tindakannya
6) mempersiapkan peserta didik untuk menggunakan sain
bagi pengembangan hidup dan mengikuti perkembangan dunia teknologi,
7) mengajar para peserta didik untuk mengambil
tanggung jawab dengan isu-isu lingkungan, teknologi, atau masyarakat
8) mengidentifikasi pengetahuan fundamental sehingga
peserta didik secara tuntas memperoleh kepandaian dengan isu-isu SETS
Dengan demikian,ada beberapa aspek yang perlu mendapat
penekanan dan dipresentasikan secara proporsional dan terintegrasi dalam
pembelajaran sains di sekolah dengan pendekatan SETS, yaitu:
1) kemampuan peserta didik
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada alam dan menemukan jawabannya;
2) kemampuan peserta didik
mengidentifikasi isu/masalah-masalah yang sedang dihadapi masyarakat dan
berupaya memecahkannya;
3) penguasaan pengetahuan ilmiah
(sains) dan
4) keterampilan (teknologi) dan
berupaya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari;
5) mempertimbangkan nilai-nilai dan
konteks sosial budaya masyarakat; dan
6) pengembangan sikap, nilai-nilai
sosial budaya lokal, personal, dan global.
2.) Ruang Lingkup Pembelajaran dengan Pendekatan
SETS
Menurut Yager & McCormack
(Yager, 1996b:3-4; 1992b:5-6), ada enam domain utama SETS untuk pengajaran dan
penilaian, yaitu domain konsep, proses, kreativitas, sikap, aplikasi, dan
keterkaitan. Keenam domain tersebut selanjutnya dinyatakan dalam Gambar 2.
3.) Enam Domain SETS untuk Pengajaran dan Penilaian
Domain konsep meliputi fakta-fakta,
konsep-konsep, hukum (prinsip-prinsip), serta teori dan hipotesis yang
digunakan oleh para saintis. Domain ini dapat juga disebut rana pengetahuan
ilmiah/sain atau aspek minds-on/brains-on dalam belajar sain (Glynn
& Duit, 1995; Butts & Hofman, 1993).
Domain proses meliputi aspek-aspek yang
berhubungan dengan sbagaimana para saintis berpikir dan bekerja, misalnya
melakukan observasi dan eksplanasi; pengklasifikasian dan pengorganisasian
data; pengukuran dan pembuatan grafik; pemahaman dan berkomunikasi; penyimpulan
dan prediksi; perumusan dan pengujian hipotesis; identifikasi dan pengontrolan
variabel; penginterpretasian data/informasi; pembuatan instrumen dan alat-alat
sederhana; serta pemodelan. Domain ini dapat dibedakan antara keterampilan
proses dasar (observasi, pengukuran, klasifikasi, prediksi, komunikasi, dan
inferensi) dan keterampilan proses terintegrasi (perumusan/pengujian hipotesis,
interpretasi data/informasi, dan pemodelan), atau aspek hands-on belajar
sain (Rossman, 1993; Butts & Hofman, 1993; Hausfather, 1992; Pedersen,
1992; Alvarez, 1991; Glasson, 1989).
Domain kreativitas meliputi: visualisasi-produksi gambaran
mental; pengkombinasian objek dan ide atau gagasan dalam cara baru; memberikan
eksplanasi terhadap objek dan peristiwa-peristiwa yang dijumpai; mengajukan
pertanyaan; menghasilkan alternatif atau menggunakan objek/ide yang luar biasa;
menyelesaikan masalah dan hal-hal yang membingungkan atau menjadi teka-teki;
merancang alat; menghasilkan ide-ide yang luar biasa; serta menguji alat baru
untuk eksplanasi yang dibuat.
Domain sikap meliputi: pengembangan sikap
positif terhadap guru-guru dan pelajaran sain di sekolah, kepercayaan diri,
motivasi, kepekaan, daya tanggap, rasa kasih sayang sesama manusia, ekspresi
perasaan pribadi, membuat keputusan tentang nilai-nilai pribadi, serta membuat
keputusan-keputusan tentang isu-isu lingkungan dan sosial. Sejalan dengan
pernyataan Alvarez (1991:80) bahwa sikap adalah prilaku yang diadaptasi dan
diterapkan pada situasi khusus, dapat berupa minat/perhatian, apresiasi, suka,
tidak suka, opini, nilai-nilai, dan ide-ide dari seseorang.
Dalam literatur sain dibedakan antara sikap terhadap
sain dan sikap ilmiah (Shibeci, 1984; Aiken & Aiken, 1969; Gardner, 1975).
Sikap terhadap sain dihubungkan dengan reaksi emosional terhadap
perhatian/minat peserta didik, kebingungan dan kesenangan pada sain, perasaan,
dan nilai-nilai dalam kelas. Sedangkan sikap ilmiah mencakup karakter sifat
ilmiah yang lainnya, seperti kejujuran, keterbukaan, dan keingintahuan
(Alvarez, 1991:80).
Domain aplikasi dan keterkaitan meliputi: melihat/menunjukkan
contoh konsep-konsep ilmiah dalam kehidupan sehari-hari; menerapkan
konsep-konsep sain dan keterampilan pada masalah-masalah teknologi sehari-hari;
memahami prinsip-prinsip ilmiah dan teknologi pada alat-alat teknologi yang ada
dalam rumah tangga; menggunakan proses ilmiah dalam menyelesaikan masalah-masalah
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari; memahami dan mengevaluasi laporan
media massa tentang perkembangan ilmiah; membuat keputusan yang berhubungan
dengan kesehatan pribadi, nutrisi, dan gaya hidup yang didasarkan pada
pengetahuan ilmiah; dan mengintegrasikan sain dengan pelajaran lain.
4.)Ragam Pendekatan SETS
Pendekatan SETS bisa amat beragam,
mulai dari yang mengangkat topik atau isu sebagai payung pembelajaran lebih
dari satu bidang, mulai dari Fisika, Kimia dan Ilmu Sosial, atau penggunaan isu
lingkungan untuk pembahasan satu bab saja dalam Kimia, misalnya. Secara garis
besar, berdasarkan cakupannya, kita bisa melakukan beragam pendekatan STM,
antara lain:
1) Menempatkan pembelajaran bab
tertentu bidang tertentu dalam konteks sains, teknologi dan masyarakat.
2) Pendekatan SETS untuk
pembelajaran lintas bab pada satu mata pelajaran.
3) Pendekatan SETS untuk
pembelajaran lintas mata pelajaran.
4) Pendekatan SETS dengan perluasan
tujuan instruksional secara eksplisit di luar tuntutan standar kompetensi yang
tertulis di kurikulum dari mata-mata pelajaran yang terlibat dalam pembelajaran
STM tersebut, seperti kepekaan terhadap permasalahan lingkungan, atau
pengenalan dampak sains dan teknologi pada pranata sosial, dll.
5) Pendekatan SETS yang disertai
kerja nyata di masyarakat, seperti gerakan penyelamatan lingkungan, dll.
Pada pembelajaran bab tertentu dengan pendekatan SETS,
guru memulai dengan suatu topik dari lingkungan peserta didik yang berkaitan
dengan materi bab tersebut. Untuk pembelajaran lintas bab, tentunya perlu
persiapan yang lebih matang pada pemilihan topik dan penelusuran target
kompetensi dasar yang bisa diikutsertakan lewat pembelajaran di bawah payung
topik itu.
Untuk pembelajaran lintas mata-pelajaran lewat
pembelajaran berbasis SETS, diperlukan koordinasi guru beberapa bidang yang
relevan. Pendekatan ini akan berguna sebagai wahana integrasi pengetahuan
peserta didik. Pemahaman peserta didik terhadap mata pelajaran tidak lagi
terkotak-kotak, melainkan saling bertautan dan terpadu, yang amat berguna bagi
peserta didik dalam memahami realitas kehidupan.
Jika pembelajaran berbasis salingtemas diharapkan
memunculkan kompetensi lain di luar kompetensi dasar yang tertulis dalam
kurikulum saat ini, maka agar pencapaiannya optimal diperlukan penyesuaian
standar nasional (khususnya standar isi) agar dapat mencakup semangat ini.
Dalam hal ini, salingtemas tidak lagi sekedar metode pembelajaran, melainkan
paradigma baru yang diharapkan menjiwai keseluruhan kurikulum. Sejauh pemahaman
penulis, pada pengembangan pembelajaran salingtemas, Pusat Kurikulum Balitbang
Depdiknas membatasi diri pada pengembangan metode atau model pembelajaran
inovatif yang dapat memberi nilai tambah pada kurikulum tingkat satuan
pendidikan, dengan target kompetensi dasar seperti yang tertulis dalam standar
isi yang berlaku saat ini. Artikel ini juga membatasi pembahasan dalam konteks
tersebut.
C. Implementasi Pendekatan SETS dalam Pembelajaran
Pembelajaran dengan pendekatan SETS memililiki
karakteristik sebagai berikut:
a. Relevansi
Pembelajaran berorientasi konteks dan menempatkan
proses pembelajaran pada masalah otentik dan memperhatikan kebutuhan
pembelajar.
b. Metodologi
Menggunakan metodologi pembelajaran yang “self-directed”
dan “co-operative”.
c. Masalah
Masalah dalam konteks diarahkan agar peserta didik
dapat berpikir terarah, interdisipliner dan global.
d. Konsep
Untuk menerapkan pendekatan SETS
dalam pembelajaran yang harus dilakukan pertama kali adalah membuat peta “consequence”
yang menggambarkan konteks, konsep serta strategi pembelajaran yang akan
dilakukan. Peta “consequence” dapat dipandang sebagai peta konsep yang
diperkaya dengan isu permasalahan di masyarakat, konteks materi
pebelajaran dalam aspek teknologi dan lingkungan. Peta “consequence” tersebut
kemudian dapat diturunkan dalam bentuk alur pembelajaran dengan penekanan
membangun keterampilan untuk mengambil keputusan dengan justifikasi
sosio-saintifik (Holbrook, 2006).
D.Panduan Pembelajaran Berbasis SETS
Selain menjanjikan kualitas
pembelajaran yang lebih baik (dan berbagai penelitian pendidikan menunjukkan
hal itu), pembelajaran berbasis SETS juga mengandung beberapa risiko. Panduan
ini disusun untuk mengoptimalkan hasil pembelajaran berbasis SETS, dan meminimalkan
risiko yang mungkin terjadi.
Secara garis besar, tahap-tahap pelaksanaan
pembelajaran berbasis SETS adalah :
- Inisiasi: pendahuluan pembelajaran SETS dengan mengangkat dan mendiskusikan isu atau masalah.
- Penetapan kompetensi sains: mengumpulkan kompetensi sains yang diperlukan untuk lebih memahami dan memecahkan masalah yang dihadapi.
- Dekontekstualisasi: pemisahan konsep dan prinsip sains (yang perlu dicapai kompetensinya) dari konteks isu atau masalah yang diangkat.
- Pembelajaran konsep dan prinsip sains: pemantapan penguasaan konsep dan prinsip sains, melalui metode pembelajaran yang sesuai.
- Penerapan: menerapkan konsep dan prinsip sains pada isu atau masalah.
- Integrasi: membangun keterkaitan antar konsep dan prinsip sains, serta antar konsep/prinsip tersebut dengan spektrum terapannya dalam kehidupan.
- Perangkuman: merangkum kompetensi yang seharusnya telah dimiliki peserta didik, termasuk kemampuan menerapkannya pada kasus tertentu.
1. Inisiasi
Pada tahap ini, guru mengangkat isu
atau masalah yang ada dalam kehidupan peserta didik sehari-hari, atau yang
hangat di media (koran, TV, dll.). Isu atau masalah yang diangkat bisa pula
berasal dari peserta didik. Setelah pemilihan isu, dilakukan penggalian cara
pandang dan pemahaman peserta didik terhadap isu atau masalah tersebut.
Untuk melangkah ke tahap berikut, guru bersama-sama
peserta didik merumuskan masalah, atau menegaskan batas-batas topik isu
tersebut untuk mengarahkan perhatian yang memusat pada isu yang jelas.
Pembatasan ini akan memperjelas kompetensi sains apa yang diperlukan untuk
memahami atau memecahkan masalah tersebut.
2.Penetapan Kompetensi Sains
Guru mengkaji standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang terkait dengan isu yang diangkat. Seperti dijelaskan pada
ragam pendekatan SETS, kompetensi dasar yang relevan bisa berasal dari satu
bab, atau lintas bab, atau bahkan lintas mata pelajaran. Dari kajian ini,
dikumpulkan kompetensi dasar (sains dan non-sains) yang diperlukan untuk lebih
memahami dan memecahkan masalah yang dihadapi. Jika guru sebenarnya telah
mempersiapkan topik yang akan diangkat sebelum tahap inisiasi, maka guru bisa
mengetahui daftar target kompetensi sains sebelum pertemuan inisiasi di atas.
3. Dekontekstualisasi
Pada tahap ini, peserta didik perlu
dipersiapkan untuk menghadapi tahap sesudahnya yaitu pembelajaran konsep dan
prinsip sains,yang dalam kasus-kasus tertentu akan merupakan tahap yang
memiliki learning curve yang tajam. Tahap penyiapan peserta didik ini
disebut dekontekstualisasi, karena peserta didik perlu dipersiapkan agar fokus
pada pembelajaran konsep dan prinsip-prinsip yang perlu dikuasai, tanpa
terganggu oleh konteks, isu, atau masalah yang diangkat.
Tahap ini bisa berupa peralihan yang tak kentara dan
mulus dari tahap inisiasi pemilihan konteks ke tahap setelah dekontekstualisasi
yaitu pembelajaran sains. Guru bisa menciptakan suasana kelas yang
memungkinkan peralihan mulus ini. Tahap ini bisa pula berupa permintaan tegas
kepada peserta didik, agar meninggalkan diskusi tentang isu/masalah, tapi mulai
memusatkan perhatian pada pencapaian kompetensi sains (atau bidang lain) yang
dibutuhkan untuk memahami atau menyelesaikan masalah.
Proses dekontekstualisasi yang gagal akan menyebabkan
“keberhasilan-semu” pada pembelajaran berbasis STM. Peserta didik terlihat
antusias terhadap kegiatan pembelajaran, tertarik pada isu atau masalah yang
diangkat, aktif dalam pencarian solusi masalah (atau bergairah dalam diskusi
untuk memahami masalah), tetapi tidak terjadi pembelajaran konsep dan prinsip
sains, yang justru merupakan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang
hendak dicapai. Landasan keilmuan yang digunakan untuk berusaha memahami isu
atau memecahkan masalah hanya konsep dan prinsip yang telah dimiliki peserta
didik sebelumnya, dan tidak terjadi proses pembelajaran konsep dan prinsip baru
yang diharapkan. Tanpa penguasaan prinsip dan konsep itu, pemecahan masalah
yang dihasilkan tidak memiliki landasan yang kuat, atau bahkan keliru!
4. Pembelajaran Sains
Pada tahap ini terjadi pembelajaran
konsep dan prinsip sains (atau pembelajaran bidang-bidang lain yang relevan,
jika pembelajaran berbasis STM digunakan untuk lintas mata-pelajaran). Pada
tahap ini, diperlukan sarana untuk memastikan bahwa peserta didik memahami dan
diharapkan mampu menerapkan konsep dan prinsip yang mewakili kompetensi dasar
dalam standar isi. Pengujian penguasaan peserta didik dapat pula dilakukan
lewat pengamatan guru terhadap tahap sesudah ini (yaitu tahap menerapkan
prinsip dan konsep untuk memecahkan atau memahami masalah, dengan landasan
keilmuan yang lebih kuat).
Pada pembelajaran ini, guru dapat memilih metode
pembelajaran yang sesuai dengan bahan yang disampaikan. Karena pembelajaran
yang dilakukan telah diawali dengan konteks yang memayungi, yang dekat dengan
kehidupan peserta didik, maka diharapkan kualitas pembelajaran bisa meningkat,
dengan peserta didik yang lebih aktif, dll.
Seperti dijelaskan sebelumnya, keberhasilan tahap ini
selain ditentukan oleh metode pembelajaran yang dipilih dan proses pembelajaran
yang terjadi, juga sangat bergantung pada keberhasilan tahap
dekontekstualisasi sebelumnya, yang mempersiapkan suasana yang baik untuk
tahap ini. Untuk sebagian peserta didik, proses dekontekstualisasi yang baik
dan pembelajaran konsep/prinsip yang berhasil dapat secara tajam mengubah
persepsi peserta didik terhadap permasalahan yang dihadapi.
5. Penerapan
Pada tahap ini, guru dan peserta
didik secara bersama menerapkan konsep dan prinsip sains pada isu atau masalah
yang diangkat. Guru perlu menahan diri untuk tidak terlalu cepat membantu
peserta didik menerapkan apa yang baru dipelajarinya pada isu tersebut. Guru
sejauh mungkin hanya memfasilitasi usaha peserta didik untuk memahami atau
memecahkan masalah yang dihadapi bersama.
Pada tahap ini, seharusnya terjadi pemantapan konsep
dan prinsip pada diri peserta didik. Proses menerapkan pengetahuan, konsep, dan
prinsip pada hal yang nyata akan memberi makna lebih terhadap pengetahuan
tersebut.
Pada bentuknya yang paling sederhana, tahap ini tidak
menuntut terjadinya proses pemecahan masalah, melainkan hanya peningkatan
pemahaman peserta didik pada isu yang diangkat. Guru dapat mengajukan
permintaan sederhana kepada peserta didik untuk mencoba menjelaskan isu
tersebut berdasarkan pengetahuan baru yang telah diperoleh pada pembelajaran
yang dilakukan.
6. Integrasi
Tahap penerapan dilanjutkan dengan
usaha membangun keterkaitan antar konsep dan prinsip sains yang diajarkan.
Wawasan terapan yang diperoleh pada tahap sebelumnya akan memperkaya cara
pandang terhadap keterkaitan antar konsep dan prinsip tersebut. Wawasan
tersebut juga akan memberi gambaran keterkaitan yang jelas antara
konsep/prinsip sains dengan spektrum terapannya dalam kehidupan.
Untuk memperkaya tahap ini, guru dapat mengajak
peserta didik untuk berdiskusi tentang kemungkinan penerapan konsep/prinsip
baru yang dipelajari pada konteks selain isu atau masalah yang diangkat pada
pembelajaran berbasis STM ini. Pengayaan ini akan memberi kemampuan kepada
peserta didik untuk menerapkan suatu prinsip pada situasi yang berbeda.
7. Perangkuman
Akhirnya, guru atau peserta didik
dapat merangkumkan hasil pembelajaran berbasis STM yang telah dilakukan. Lewat
tahap perangkuman ini, ditegaskan berbagai kompetensi dasar yang telah dimiliki
peserta didik, dan wawasan terapan yang telah dimiliki. Tahap ini harus
dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan kepercayaan diri peserta didik dalam
mempelajari sesuatu yang baru, dan dalam memecahkan atau memahami masalah yang
relevan dengan kehidupannya.
8. Peralihan Menuju Pembelajaran SETS/Salingtemas
Karena pembelajaran berbasis SETS
akan terus berkembang, maka akan terus hadir berbagai pendekatan yang berbeda
untuk meningkatkan efisiensi dan ketercapaian pembelajaran berbasis SETS.
Tahap-tahap yang dijelaskan di atas haruslah dipandang sebagai salah satu
alternatif pendekatan dalam pembelajaran berbasis SETS. Pendekatan yang bisa
digunakan bisa amat beragam, dari mulai penyederhanaan terhadap tahap-tahap di
atas untuk awal peralihan menuju pembelajaran berbasis SETS hingga penambahan
tahap pengayaan dengan mengundang pakar yang berkompeten dalam bidang yang
relevan dengan isu/masalah yang diangkat. Untuk yang terakhir ini, pakar
diundang untuk turut berdiskusi dengan peserta didik setelah
peserta didik mendapat pembekalan pemahaman konsep dan prinsip dasar yang
diperlukan. Yang diharapkan adalah terciptanya suasana diskusi yang saling
mengisi: peserta didik mendapat tambahan kompetensi dari pakar yang diundang,
sebaliknya pakar tersebut bisa saja memperoleh gagasan-gagasan segar dari peserta
didik.
Untuk mulai beralih menuju pembelajaran berbasis SETS,
guru perlu merasa bebas untuk bereksperimen. Tahap-tahap di atas bisa
disederhanakan, disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi (peserta didik,
prasarana, sumber belajar, dll.). Pada tingkatnya yang paling sederhana, guru
harus mengenal ciri minimal berikut yang membedakannya dari pembelajaran
tradisional. Pembelajaran tradisional mulai dengan pembelajaran konsep
dan prinsip, diikuti dengan contoh-contoh terapan, sedangkan pembelajaran yang
baru ini memulai dengan isu atau masalah yang dekat dengan kehidupan peserta
didik, diikuti dengan pembelajaran konsep dan prinsip, untuk akhirnya kembali
ke isu/masalah untuk difahami atau dipecahkan dengan menerapkan konsep atau
prinsip yang dipelajari.
Pada keadaan dimana guru belum siap dengan
pembelajaran berbasis SETS, guru bisa tetap mulai mengumpulkan gagasan isu atau
masalah melalui peserta didik, yang dapat digunakan untuk pembelajaran SETS di
kemudian hari. Tahap brainstorming ini bisa dengan pertanyaan sederhana
kepada peserta didik tentang peristiwa atau isu apa saja yang menarik
perhatiannya akhir-akhir ini, di lingkungan terdekatnya atau dalam berita, dll.
Untuk sedikit memperkaya isu/topik/masalah, bisa dilakukan diskusi kecil
tentang beberapa isu tersebut. Guru bisa mencatat isu-isu yang kira-kira dapat
digunakan untuk merancang pembelajaran berbasis SETS suatu saat nanti.
Akhirnya, tidak ada peralihan yang sempurna dari
pembelajaran tradisional. Kita tidak mungkin menghadapi kondisi ideal dimana
seluruh kompetensi dasar yang dituntut oleh kurikulum atau standar isi dapat
ditumbuhkan melalui pembelajaran berbasis SETS. Guru perlu mencatat kompetensi
apa saja yang telah ditumbuhkan lewat pembelajaran SETS, dan melakukan
pembelajaran non-SETS untuk mencapai kompetensi-kompetensi dasar yang belum
disentuh.
9. Implikasi Model Pembelajaran dengan
Pendekatan SETS
Implementasi model pembelajaran
dengan menggunakan visi dan pendekatan SETS, menuntun peserta didik untuk
mengaitkan konsep sains dengan unsur lain dalam SETS. Cara ini memungkinkan
peserta didik memperoleh gambaran lebih jelas tentang keterkaitan konsep
tersebut dengan unsur lain dalam SETS,baik dalam bentuk kelebihan ataupun
kekurangannya.
Setiap peserta didik memiliki
kemampuan dasar berbeda-beda,melalui penerapan konstruktivisme peserta didik
dapat melakukan pembelajaran dari berbagai titik awal yang mereka kenal dekat
dengan konsep sains yang akan dipelajari. Model pembelajaran bervisi dan
berpendekatan SETS dengan sains sebagai titik awal yang disesuaikan dengan
minat dan bakat peserta didik diharapkan mendorong keingintahuan dan memperkuat
inisiatif peserta didik untuk mengaitkan dengan unsur-unsur SETS lainnya.
Tanggung jawab pendidik yang terutama adalah tidak hanya sadar akan prinsip
umum mengenai pengalaman belajar sain sesuai dengan kondisi lingkungan
keseharian peserta didik, tetapi juga mengaitkan dengan teknologi,lingkungan,masyarakat
yang terus berkembang untuk memperoleh pengalaman yang membawa ke arah
pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan.
Implikasi terkait dengan penerapan model pembelajaran
bervisi dan berpendekatan SETS adalah:
- Diperlukan penurunan silabus mata pelajaran berdasarkan standar isi dan kompetensi yang bervisi dan berpendekatan SETS.
- Diperlukan pengembangan perencanaan pembelajaran yang subjeknya bervisi dan berpendekatan SETS
- Diperlukan pengembangan atau penyediaan bahan pembelajaran yang bervisi dan berpendekatan SETS.
- Diperlukan pengembangan instrumen evaluasi bervisi dan berpendekatan SETS untuk pembelajaran topik pada subyek yang diperkenalkan.
BAB IV
PENUTUP
Dalam proses belajar mengajar sangat diperlukan
strategi pembelajaran yang sangat baik dan cocok untuk situasi dan kondisi
siswa. Strategi yang sangat cocok dan menarik peserta didik dalam pembelajaran
sekarang ini dikenal dengan nama PAIKEM (Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif
Efektif dan Menyenangkan)
PAIKEM adalah sebuah model pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik mengejakan kegiatan yang beragam untuk mengembangkan
keterampilan dan pemahaman dengan penekanan kepada belajar sambil bekerja,
sementara guru menggunakan berbagai sumber dan alat bantu belajar termasuk
pemanfaatan lingkungan supaya pembelajaran lebih menarik, menyenangkan dan
efektifSeperti telah disebutkan di muka, pendekatan STM pada awalnya
dikembangkan untuk pembelajaran sains, khususnya sains alam, tetapi dapat
dikaji penggunaannya pada pembelajaran bidang-bidang lain. Pertanyaan dasar
yang dapat digunakan adalah bagaimana proses pembelajaran dirancang agar sejauh
mungkin diselaraskan dengan pengalaman pribadi peserta didik dan kecenderungan
peserta didik dalam memahami lingkungan sekitarnya. Pendekatan ini bisa
diujicobakan pada pembelajaran bidang-bidang lain, tidak hanya sains atau ilmu
sosial. Sebagai contoh, dari sudut pandang peserta didik, bahasa tumbuh dari
lingkungan sosial yang dijalaninya. Dengan demikian pembelajaran bahasa perlu
diawali dari lingkungan sosial peserta didik, dengan mengangkat isu hangat di
lingkungannya sebagai konteks pembelajaran, ataupun dengan memilih budaya atau
cara berbahasa yang tumbuh di lingkungan sosial peserta didik sebagai titik
awal proses pembelajaran.
Pendekatan
sains-teknologi-masyarakat (SETS = science, environment, technology, society)
merupakan salah satu model atau pendekatan untuk menyesuaikan diri terhadap
perkembangan sains yang cepat dan menjawab perubahan paradigma di atas.
Pendekatan SETS pada awalnya dikembangkan untuk pembelajaran sains, khususnya
sains alam, walaupun dapat dikaji penggunaannya pada pembelajaran
bidang-bidang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2005. Pembelajaran Aktif. Buletin P &
P, Versi Elektronik, Edisi 3 (April – Jun 2005)
Depdiknas. Tanpa Tahun. Konsep Pakem.http://akhmadsudrajat.wordpress.com/bahan-ajar/konsep-pakem/feed,
November, 23, 2007.
Edgar Dale. 1969. Audio-Visual Methods in Teaching (3
rd edition) Holt, Tinehart and Winston, 1969
Tim DBE2. 2007. Pengenalan Pembelajaran Efektif Dalam
Mata Pelajaran Pokok. Jakarta.
The Citykids Foundation. Teori Dan Strategi Pengajaran
Pembelajaran Dalam Merekabentuk Perisian Kursus. Malaysia.
http://www.tripod.lycos.com/. May 23, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar